Brains Partai Demokrat Rilis 3 Plus dan 3 Minus Putusan MK Soal Pemilu

BANDUNG– Badan Riset dan Inovasi Strategis (Brains) Partai Demokrat merilis kajian atas putusan MK terkait Pemilu. Menurut Brains ada hal-hal menarik terkait pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal.

“Putusan MK akan berdampak signifikan terhadap sistem pemilu dan model demokrasi di Indonesia,” jelas Dr Ahmad Khoirul Umam, kepala Brains DPP Partai Demokrat, di Jakarta (27/6/2025).

Brain Partai Demokrat menyampaikan beberapa analisis plus-minus dari putusan MK tersebut. Ada tiga keunggulan atas putusan MK tersebut.

Pertama, meningkatkan fokus dan kualitas pemilu lokal. Dengan pemisahan, isu-isu lokal tidak akan lagi tertutup oleh dinamika politik pemilu nasional, utamanya Pilpres.

“Masyarakat bisa lebih fokus mengevaluasi dan memilih kepala daerah dan wakil rakyat di daerahnya, berdasarkan kebutuhan lokal, bukan sekadar ikut arus nasional,” ungkap Umam.

Karena itu, dia menyebut perlunya inovasi kelembagaan partai dan pendekatan yang lebih adaptif terhadap aspirasi masyarakat akar rumput di berbagai daerah.

Plus kedua, lanjut staf pengajar di Universitas Paramadina ini, akan mengurangi kompleksitas Pemilu. Selama ini ada lima surat suara yang harus dicoblos. Lalu dihitung serentak oleh petugas.

Dalam dua kali pemilu terakhir, model serentak itu terbukti lebih kompleks, memicu kelelahan pemilih dan juga petugas. Bahkan mempersulit pengawasan terjadinya praktik jual beli suara dalam skala massal.

Pemisahan ini dapat mengurangi beban teknis penyelenggaraan pemilu. Kemudian risiko kegagalan distribusi logistik bisa ditekan. Hal ini juga bisa memperbaiki kualitas pengawasan dan partisipasi politik publik.

“Dengan begitu potensi konflik terkait rekapitulasi suara hasil Pemilu bisa dihindarkan,” tegas doktor jebolan.

Putusan MK juga ada keuntungan ketiga. Yakni memungkinkan kaderisasi partai yang lebih terstruktur. Partai bisa mengembangkan strategi berbeda untuk kandidat nasional dan lokal. Juga memaksimalkan kaderisasi yang lebih spesifik dan berbasis kebutuhan daerah.

Namun demikian, pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal ini juga mengandung tantangan cukup serius. Setidaknya ada tiga hal.

Satu, memunculkan fragmentasi siklus politik nasional versus lokal. Selama ini, Caleg nasional dan Caleg lokal selalu bekerja sama untuk menggarap basis konstituen di masing-masing dapil.

Jika rezim pemilu nasional dan lokal dipisah, kerja-kerja caleg nasional akan lebih berat. Sebab harus menjangkau pemilih dalam skala besar di wilayah territorial daerah pemilihan yang luas, tanpa dukungan caleg lokal dan mesin politiknya yang mengakar.

“Lagi-lagi, hal ini bisa menciptakan politik biaya tinggi,” tegas doktor ilmu politik berlatar jurnalis ini.

Menurut Umam, putusan MK ini membuka ruang evaluasi hubungan pusat dan daerah. Ketika pusat dan daerah seringkali tak lagi seirama, hal itu berpotensi memperdalam garis pemisah koordinatif antara pusat dan daerah.

“Corak sistem federalisme akan jauh lebih kuat, mengingat kepala daerah dan DPRD dipilih dalam satu paket dinamika politik lokal yang sama,” papar peraih Ph. D dari University of Queensland, Australia ini.

Minus ketiga, lanjut Umam, akan memperpanjang siklus ketegangan politik. Dengan pemilu yang terpisah, suasana kompetisi politik berlangsung lebih panjang, yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial, politik dan pemerintahan. (R-03)

Leave a Reply